Problematika Pulau Rempang dalam Perspektif Filsafat Hukum

0
59
Keterangan Foto : Masyarakat yang tengah melakukan pemblokiran jalan (7/9/23)

Oleh :  Ahmad Fikri , Mahasiswa Fakultas Hukum Unja

Pulau Rempang merupakan sebuah pulau yang berada di kawasan Provinsi Kepulauan Riau, yang mana saat ini sudah dihuni sekitar 10.000 jiwa yang menempati 16 desa di Pulau Rempang.

Sejak tahun 1843 pulau ini sudah dihuni oleh masyarakat adat asli Pulau Rempang. Hal ini berarti pulau ini sudah dihuni sejak sebelum kemerdekaaan Indonesia di proklamasikan.

Klaim ini dapat dilihat dari artikel yang berjudul “Verslag Van een bezoek aan de Orang Darat Van Rempang” yang dibuat oleh seorang pejabat dari Belanda, P. Wink yang pernah berkunjung ke Pulau Rempang tahun 1930 (Kemendikbud Ristek, 2020).

Pada tanggal 7 september 2023 terjadi bentrokan antara warga Pulau Rempang dengan aparat gabuungan. Hal ini terjadi karena adanya penolakan oleh masyarakat terhadap Program Strategis Nasional kawasan Rempang Eco City yang tertuang dalam Permenko bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 yang ditargetkan akan mencapai nilai investasi sebesar Rp. 381 triliun pada tahun 2080 mendatang.

Tak hanya itu kawasan ini juga akan menjadi lokasi pabrik dari perusahaan China yang memproduksi kaca yakni China Xinyi Group dan diperkirakan investasinya mencapai Rp. 174 triliun.

Bentrokan ini pecah karena warga menolak pengukuran yang dilakukan dengan membuat blockade di jembatan trans belerang. Masyarakat menilai bahwa penggusuran ini dilakukan semena-mena oleh aparat gabungan.

Apalagi mereka menilai bahwa tanah itu adalah tanah adat warisan dari nenek moyangnya.

Ketika bentrokan terjadi banyak sekali warga sipil menjadi korban. Bahkan pelajar disana pun juga terkena imbas dari bentrokan tersebut. Banyak pelajar yang secara langsung terkena efek dari tembakan gas air mata yang dilontarkan oleh aparat gabungan.

Tak hanya itu bahkan ada seorang balita yang tidak bisa bernafas akibat tembakan gas air mata tersebut.

Karena hal ini integritas aparat penegak hukum menjadi dipertanyakan. Bagaimana bisa, aparat penegak hukum yang seharusnya bertugas mengayomi dan melayani masyarakat, malah melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan masyrakat, hingga para pelajar pun juga ikut terkena dampak dari tindakan aparat penegak hukum tersebut.

Bahkan ada beberapa tokoh masyarakat adat yang ditangkap oleh pihak aparat karena menyuarakan hak-haknya padahal tanpa perbuatan anarkis.

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia sendiri bisa hadir karena adanya kesatuan dari masyarakat-masyarakat adat yang memilih berjuang dan mempertahankan tanah airnya. Yang kemudian memilih untuk bersatu dan membentuk sebuah negara kesatuan.

Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa masyarakat adat sudah ada sejak sebelum kemerdekaan.

Lantas mengapa negara tega meggusur masyarakat hukum adat di pulau Rempang yang sudah menetap disana selama bertahun-tahun demi investasi yang katanya akan menguntungkan negara?
Bukankah Konstitusi telah menegaskan mengenai keberadaan masyarakat hukum adat?.

Dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Lantas hak seperti apa yang didapatkan oleh masyarakat adat Pulau Rempang jika tempat tinggal mereka akan dijadikan sebagai tempat investasi.

Yang mana mereka sendiri akan digusur dari tanah yang menjadi hak mereka. Hal demikian seolah menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya tidak tercapai, karena kemerdekaan bisa dicapai jika tanah yang ada bisa dipakai oleh rakyat kebanyakan.

Berdasarkan aliran utilitarianisme dalam filsafat hukum, yang mana aliran ini meletakan kemanfaatan sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan yang dimaksud disini adalah kebahagiaan yang dicapai oleh hukum. Jadi baik buruknya suatu hukum bergantung pada manfaat hukum itu sendiri, apakah hukum itu dapat memberikan kebahagiaan kepada masyarakat atau tidak.

Jika melihat kembali terhadap kasus yang terjadi di Rempang, maka tujuan hukum yang memberikan kebahagiaan untuk masyarakat tidak lah terpenuhi. Karena Pulau Rempang yang merupakan tanah milik masyarakat adat Pulau Rempang dijadikan sebagai tempat investasi untuk investor asing oleh pemerintah.

Menurut Jeremy Bentham adanya negara dan hukum semata-mata hanya lah sebagai alat untuk mencapai sebesar-besarnya kebahagiaan mayoritas masyarakat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here